HeadlineRagam

Pendidikan Bermutu: Suara dari Akar Rumput untuk Negara

×

Pendidikan Bermutu: Suara dari Akar Rumput untuk Negara

Share this article

PENDIDIKAN bermutu bukan hasil dari agenda birokrasi teknokratis yang diklaim sebagai keberhasilan dari balik meja institusi pusat. Ia tumbuh, hidup, dan diuji dalam dinamika sehari-hari rakyat—para guru honorer yang bertahan dengan gaji tak layak, siswa di pedalaman yang belajar tanpa akses listrik stabil, hingga orang tua yang menggadaikan barang untuk beli seragam anaknya. Dalam kenyataannya, amanat konstitusi UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” tak jarang menjadi janji yang belum utuh dijalankan oleh negara. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 memang menekankan peran masyarakat, namun kenyataannya, masyarakat justru kerap ditinggalkan dalam perumusan kebijakan pendidikan.
Secara historis, pendidikan di Indonesia lahir dari perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan—bukan dari fasilitas negara, melainkan dari inisiatif rakyat: sekolah rakyat, madrasah, dan Taman Siswa. Filosofi gotong royong yang lahir dari Pancasila bukan sekadar slogan, tetapi realitas yang terwujud dalam bentuk les gratis, guru relawan, dan perpustakaan swadaya. Dari perspektif sosiologis, masyarakat bukan hanya pelengkap sistem pendidikan—mereka adalah sumber utama nilai-nilai, bahasa, dan kearifan lokal yang membentuk karakter bangsa. Jika pendidikan dipisahkan dari realitas sosialnya, ia hanya akan melahirkan sistem yang asing di negeri sendiri.
Presiden Prabowo Subianto dalam Peringatan Hardiknas 2025 menegaskan pentingnya pendidikan sebagai penentu masa depan bangsa. Namun bagi warga miskin di pelosok, pidato itu hanyalah gema yang tak sampai. Mereka masih menanti fasilitas layak, guru yang tak digonta-ganti tiap semester, dan kurikulum yang mengerti konteks hidup mereka. Janji perbaikan 11 ribu sekolah dalam 30 tahun adalah pengakuan terselubung bahwa selama ini ada ketertinggalan yang dibiarkan membusuk.
Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) memang hadir sebagai inisiatif akseleratif. Tapi bagaimana dampaknya di lapangan? Swakelola sarana pendidikan kerap terbentur birokrasi rumit dan ketimpangan sumber daya. Digitalisasi pembelajaran melalui “Ruang Murid” dan papan interaktif menjawab kebutuhan teknologi—namun bagi siswa di daerah tanpa sinyal atau listrik stabil, itu hanya mimpi dalam brosur. Insentif untuk guru non-ASN yang belum tersertifikasi penting, tapi tak menyentuh problem keadilan struktural: mengapa masih ada guru dengan puluhan tahun pengabdian tanpa pengakuan formal?
Ketika data PISA 2022 menunjukkan Indonesia peringkat ke-39 dari 41, kita tidak hanya bicara tentang skor akademik—kita bicara tentang kegagalan negara menyediakan lingkungan belajar yang merata dan manusiawi. Integritas pendidikan berada di kategori “korektif” (69,50 menurut SPI KPK 2025), menunjukkan bahwa yang rusak bukan sekadar metode, tetapi juga sistem pengelolaannya.
Di Buleleng, Bali, anak-anak SMP mahir berselancar di media sosial tapi gagap membaca. Ironi digital ini bukan salah mereka, tapi cermin bahwa pendidikan kita gagal menyeimbangkan literasi dasar dengan perkembangan zaman. ANBK 2023 menunjukkan lebih dari 26% siswa SD kelas akhir belum mencapai kompetensi literasi minimum—angka yang tak bisa ditutupi dengan retorika capaian kurikulum. Ketimpangan digital pun mencolok: di luar Jawa dan Bali, hanya 65% SD negeri yang memiliki akses internet memadai. Apakah ini bentuk keadilan sosial?
Masalah bukan hanya infrastruktur. Di balik ruang kelas, ada realitas suram: guru yang belum S-1 mencapai 13% di daerah tertinggal, dan hampir 23% belum bersertifikasi profesi. Kualitas pendidikan tidak dapat dibangun di atas fondasi tenaga pendidik yang tidak didukung dengan penguatan berkelanjutan.
Kasus kekerasan guru terhadap siswa di SMP Negeri Makassar pada 2024 adalah alarm keras. Ketidaksiapan emosional guru bukan semata kesalahan individu, tetapi kegagalan sistem dalam membina, mengawasi, dan mendukung tenaga pendidik. Komnas Perlindungan Anak mencatat kenaikan 17% laporan kekerasan di sekolah tahun itu—sekolah tak lagi menjadi tempat aman bagi semua anak.
Pengaruh eksternal pun kian membebani. Game online dan konten viral yang tak mendidik menggerus fokus belajar siswa. Survei Yayasan Literasi Digital 2024 mengungkapkan bahwa 72% siswa SMP dan SMA mengakses media sosial lebih dari 4 jam sehari, dan 50% sering menunda tugas karena sibuk di dunia maya. Regulasi yang dirancang Kemenkominfo dan Kemendikbudristek tentang pembatasan media sosial bagi anak usia 11–17 tahun adalah langkah awal yang baik, namun bukan solusi tunggal. Tanpa pendidikan karakter, penguatan literasi digital, dan peran orang tua serta komunitas, kebijakan itu akan menjadi pembatas tanpa makna.
Pendidikan tidak bisa terus-menerus dibebankan pada negara pusat. Partisipasi masyarakat bukanlah ‘bantuan’, melainkan hak sekaligus tanggung jawab yang selama ini terpinggirkan. Dengan lebih dari 270.000 satuan pendidikan di Indonesia (Kemendikbudristek, 2024), pendekatan top-down hanya akan menciptakan solusi generik bagi masalah yang sangat kontekstual. Sudah waktunya mempercayakan pendidikan pada kekuatan wilayah: komunitas adat, tokoh agama, pemuda desa, dan guru lokal harus diberi ruang untuk merancang dan mengelola sistem yang sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri.
PHTC bisa menjadi model kolaboratif jika benar-benar menempatkan masyarakat sebagai mitra sejajar, bukan objek pelaksanaan. Guru honorer harus diangkat secara adil, bukan sekadar diberi insentif temporer. Digitalisasi harus menyentuh yang paling tertinggal lebih dulu. Program pelatihan guru harus berbasis kebutuhan lapangan, bukan target formalitas. Pendidikan menengah harus menyiapkan siswa untuk hidup—bukan hanya untuk kuliah.
Keterlibatan rakyat adalah fondasi ketahanan bangsa. Ketika warga diberi ruang untuk turut menentukan arah pendidikan, yang lahir bukan sekadar sekolah, tetapi komunitas belajar yang hidup dan relevan. Pendidikan bukan proyek kebijakan, tapi proses peradaban. Dalam semangat gotong royong, rakyat tidak minta dilayani—mereka ingin dilibatkan.
Presiden Prabowo menyebut periode ini sebagai momentum emas membangun negeri melalui pendidikan. Tapi emas tidak digali dari permukaan; ia harus ditambang dari kedalaman realita rakyat. Bila negara sungguh-sungguh mau mewujudkan pendidikan bermutu, dengarlah suara dari bawah. Di sanalah akar dari perubahan yang sejati.***

Raihan Khaira, Mahasiswa & pengamat ekonomi dan pendidikan UIN Saizu

Source : cirebonbagus.id